Infotaiment

Bukan Sekedar Lagu Tapi Amanah, Indonesia Raya Tiga Stanza Kembali Dihidupkan di Surabaya

aksesadim01
5789
×

Bukan Sekedar Lagu Tapi Amanah, Indonesia Raya Tiga Stanza Kembali Dihidupkan di Surabaya

Sebarkan artikel ini
Caa8d118 8095 4e0b a6a1 570c377191d0

SURABAYA — Di tengah sorotan atas krisis moral dan meredupnya semangat nasionalisme, lantunan Indonesia Raya tiga stanza kembali menggema dari Museum dan Makam WR Soepratman di Surabaya.

Suasana penuh haru dan kebanggaan itu menandai 97 tahun lahirnya lagu kebangsaan Indonesia, karya abadi yang lahir dari tangan dan jiwa seorang pemuda jenius bernama Wage Rudolf Soepratman.

Kegiatan yang diinisiasi oleh Komunitas Pecinta Indonesia ini bukan sekadar seremoni tahunan, tetapi sebuah gerakan kebudayaan untuk menghidupkan kembali makna sejati tiga stanza Indonesia Raya yang mulai terlupakan oleh generasi modern.

Ketua panitia, Rudy T. Mintarto, menegaskan bahwa lagu kebangsaan bukan hanya sekadar simbol, tetapi napas perjuangan yang mempersatukan bangsa.

“Kita tidak boleh berhenti di satu bait. Di tiga stanza, Soepratman menulis seluruh roh perjuangan bangsa tentang tanah air, pengorbanan, dan kemajuan. Menyanyikannya penuh berarti memanggil kembali jiwa kebangsaan yang mulai pudar,” tegas Rudy.

Rudy menjelaskan bahwa makam WR Soepratman sengaja dipilih sebagai pusat kegiatan karena menjadi simbol kesederhanaan perjuangan.

“Beliau tidak berperang dengan senjata, tapi dengan biola dan pena. Lagu Indonesia Raya lahir dari hati yang merdeka dan semangat yang tulus,” tambahnya.

Acara yang digelar Selasa, 28 Oktober 2025, pukul 14.00 ini dimulai dari Museum WR Soepratman, kemudian berlanjut ke area makam untuk refleksi dan penghormatan.

Sementara itu, Prof. Dr. Siswanto, selaku penasihat program, menyoroti bahwa selama puluhan tahun, bangsa Indonesia hanya mengenal satu stanza dari lagu kebangsaan, sementara dua stanza berikutnya menyimpan pesan moral yang amat dalam.

“Bait kedua dan ketiga mengandung ajaran pengorbanan, tanggung jawab, dan semangat persatuan. Ketika hanya satu stanza dinyanyikan, kita kehilangan sebagian besar ruh moral bangsa,” ujarnya.

Kegiatan ini dikemas secara artistik dan reflektif. Sekretaris sekaligus desainer program, Rokimdakas, menjelaskan bahwa acara diisi dengan musik biola, pembacaan puisi perjuangan, pidato kebangsaan, dan slametan sebagai bentuk penghormatan terhadap sang komponis.

“Kami ingin menunjukkan bahwa patriotisme tidak harus berteriak di jalan. Ia bisa hidup melalui karya seni dan budaya yang jujur seperti yang dilakukan WR Soepratman,” tutur Rokim.

Sosok WR Soepratman lahir di Purworejo, 9 Maret 1903, dan wafat di Surabaya, 17 Agustus 1938, tepat di hari yang kelak menjadi Hari Kemerdekaan Indonesia.

Dalam hidupnya yang singkat, ia berprofesi sebagai pendidik dan wartawan, serta menciptakan lagu pemersatu bangsa. Atas jasanya, pemerintah menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional dan Bintang Mahaputra Utama.

Kini, gema Indonesia Raya tiga stanza dari makam sang pencipta bukan hanya sebuah peringatan, melainkan panggilan nurani bangsa untuk kembali setia pada nilai moral, persatuan, dan kecintaan pada tanah air.

Di tengah zaman yang mudah tergoda kekuasaan, suara biola Soepratman seolah berbisik kembali: kemerdekaan sejati bukan hanya lepas dari penjajahan, tetapi kesetiaan menjaga jiwa kebangsaan yang diwariskan para pendiri negeri. (Sam)